Dimuat di bulletin El-Wijhah Edisi XIX
Oleh : Ikhwal
Kategori : Laporan Utama
Jujurlah pada dirimu sendiri mengapa kamu selalu mengatakan bahwa Ramadhan adalah bulan penuh ampunan.
Apakah hanya menirukan nabi ataukah dosa-dosa dan harapanmu yang berlebihanlah yang menggerakkan lidahmu berucap begitu.
Ramadhan adalah bulan antara dirimu dan Tuhanmu, darimu hanya untuknya (ramadhan), dan dia sendiri tak ada yang tahu apa yang akan dianugerahkanya kepadamu, semua yang khusus untuknya, khusus untukmu.
Ramadhan adalah bulan-Nya yang diserahkan-Nya kepadamu, dan bulan, serahkanlah semata-mata hanya pada-Nya.
Bersucilah untuk-Nya, bershalatlah untuk-Nya, berpuasalah untuk-Nya, berjuanglah melawan dirimu sendiri untuk-Nya.
Penggalan puisi dari Gus Mus tersebut sedikit memproyeksikan bagaimana menyikapi bulan Ramadhan di mata manusia awam, karena memang sesungguhnya Ramadhan adalah bulan antara diri manusia dan penciptanya.
Puasa merupan amalan yang wajib dijalankan ketika bulan Ramadhan, yaitu ibadah yang tidak dapat diketahui orang lain, selain diri sendiri dan penciptanya.
Sebagaimana yang telah tersirat dalam hadist yang diriwayatkan oleh Sahabat Abu Hurairah :
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ مَا شَاءَ اللَّهُ يَقُولُ اللَّهُ إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
حاشية السندي على ابن ماجه -ج 3 / ص 411)
Artinya: “Tiap-tiap amal anak cucu adam, akan dilipatkan kebagusannya sepuluh kali hingga sampai tujuh ratus kali lipat kebagusannya, sesuai apa yang dikehendaki Allah. Allah berfirman, kecuali puasa, maka sesungguhnya puasa tersebut untuk Aku, dan Akulah yang membalasnya”.
Pengenalan Ramadhan
Menurut arti etimologi Ramdhan berasal dari bahasa arab romidho yang berarti musim panas, karena bulan Ramadhan biasanya bertepatan dengan musim panas. Di Timur Tengah, para masyarakatnya biasanya menyambut bulan ramadhan dengan penuh keceriaan, hal tersebut diindikasikan dengan dihidupkannya lampu-lampu untuk menunjukkan bahwa bulan Ramadhan telah tiba.
Beda halnya dengan di Indonesia, biasanya masyarakat Indonesia menyambut bulan Ramadhan dengan pergi ke makam para ahli kuburnya untuk mendoakan agar dosa para ahli kubur tersebut diampuni. Lalu bagaimana mengetahui hari awal bulan Ramadhan? Untuk penetapan awal bulan Ramadhan harus melewati beberapa prosedur, yaitu harus ada wujud rukyah (melihat bulan) yang dilakukan oleh satu orang adil dan ada proses tazkiyyah (pembersihan) yang artinya dua orang yang menjadi saksi terhadap rukyah tersebut harus benar-benar adil, dan harus ada sidang isbat (penetapan dari pemerintah) bahwa akan datangnya bulan Ramadhan. Sesuai dengan hadist yang berbunyi :
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ
فتح الباري لابن حجر - (ج 6 / ص 148)
Artinya : “Berpuasalah kalian semua, karena terlihatnya hilal, dan janganlah berpuasa karena terlihatnya hilal dan apabila terhalang-halangi dengan mendung, maka jumlah hari bulan Sya’ban sampurnakanlah”.
Beberapa Kontroversi dalam Ramadhan
Ketika bulan Ramadhan, kebanyakan orang masih memperselisihkan tentang penetapan awal bulan dan rakaat dalam shalat tarawih, sampai-sampai terjadi perbedaan diantara umat Islam.
Mengenai penetapan awal bulan, menurut Bapak Muhammad Naf’an, seorang staf pengajar di madrasah Qudsiyyah, beliau berpendapat bahwa penetapan awal Ramadhan itu memakai sistem rukyah dan hisab. Tetapi yang diunggulkan adsalah sistem rukyahnya. Namun ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa ketika bertentangan antara rukyah dan hisab, maka lebih diunggulkan rukyahnya, tapi seingat beliau qoul tersebut dhoif. Jadi qoul dhoif tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum yang bersifat ibadah.
Menurut perspektif fiqih , ketika ada orang yang melihat hilal dan orang tersebut mempercayai bahwa itu memang benar-benar hilal, maka orang tersebut berkewajiban untuk untuk memulai puasa, tapi kalau sudah ada isbat (penetapan) dari pemerintah maka seluruh rakyatnya wajib mengikuti peraturan pemerintah.
Sedangkan untuk shalat tarawih, menurut beliau pada aqidah ahlussunnah waljamaah, shalat tarawih itu dilakukan 20 rakaat dan sholat witir 3 rakaat jadi menjadi 23 rakaat. Untuk perdebatan masalah ini, pertentangan tersebut bersifat ijtihad (penetapan).
Melihat sejarah yang ada, dahulu Rasulullah shallallahu ‘alai wasallam pernah melakukan shalat sunnah saat bulan Ramadhan di masjid, ternyata para Sahabat melihatnya, lalu berbondong-bondong mengikuti shalatnya Rasulullah, dan memang pada waktu itu Rasulullah melakukan shalat tarawih 11 rakaat. Sehingga pada waktu selanjutnya Rasulullah melakukan shalat tarawih di rumah.
Maka dari itulah menilmbulkan kontroversi, apakah shalat terawih dilakukan 11 atau 23 rakaat, tapi yang jelas Rasulullah pada saat shalat di masjid menggunakan 11 rakaat. Dalam bebarapa hadist ditemukan kalau shalat tarawih dilakukan 23 rakaat, hal ini dapat dilihat dalam kitab kashfuttabareh karangan Mbah Fadhol Sanori.
Sehingga pada waktu sayyidina Abu Bakar belum di legal formalkan, shalat tarawih dilakukan sendiri-sendiri dalam arti belum ada penetapan mengenai rakaat shalat tarawih. Sedangkan pada waktu sayyidina Umar menjadi khalifah, beliau memerintahkan seorang ahlu qurro’ untuk melakukan shalat tarawih di masjid dengan 23 rakaat.
Oleh sebab itu di dalam permasalahan ini dikategorikan sebagai bid’ah, tapi bukan bid’ah dholalah melainkan bid’ah syar’i , sebab bid’ah yang satu ini merupakan bid’ah yang boleh dilakukan.
Hal-hal yang dikira Membatalkan Puasa
Dalam kasus ini, hal yang dikira membatalkan puasa ternyata tidak membatalkan puasa dan sebaliknya, adalah seperti menggunakan obat mata atau meneteskan obat mata, hal itu ternyata tidak membatalkan puasa. Walaupun rasa obat mata tersebut sampai ke dalam tenggorokan, dikarenakan mata tidak dikategorikan manfat (jalan dalam anggota tubuh yang bisa menerus).
Dan jika flashback kembali ke masa kecil, biasanya orang-orang menganggap kalau maqmadhoh (berkumur) dan ishtinshak (menyedot air ke lubang hidung) membatalkan puasa. Sebenarnya jika selama tidak mubalaghoh (menyerukan) maka tidak membatalkan puasa, walau ada air yang masuk dikarenakan adanya qoidah fiqhiyah الرِّضَى بِالشّيئ رِضَا بِمَا يَتَوَلَّدُ مِنْهُ .
Misteri di balik datangnya bulan yang penuh berkah tersebut memang luar biasa, dan merupakan anugerah dari yang Maha Esa kepada ciptaannya, supaya dapat lebih meningkatkan ketaqwaan. Sebagai ciptaan dari yang Maha menghidupkan dan mematikan, seharusnya bukan hanya menghormati akan datangnya bulan tersebut dengan istirahat maksiat sementara, tapi alangkah baiknya jika terus berlatih untuk meninggalkan maksiat, dan berusaha untuk lebih dapat bertaqwa kepada Ilahi robbi.