Buletin El-Fajr Edisi IV (Ma’had Qudsiyyah)
Mendengar, Memahami dan Memberi Solusi
-----------------------------

Masih ingat salah seorang anggota DPR RI yang tertangkap basah nonton video porno saat sidang paripurna di Jakarta 8 April lalu. Kejadian ini menggegerkan warga yang berakhir dengan pengundurkan dirinya dari kursi legislatif. Nah, itulah salah satu kasus dari dampak negatif teknologi. Kita dapat melihat, teknologi sekarang ini sudah sangat maju di belahan dunia manapun. Sehingga, dunia ini bagai tanpa sekat, lebih-lebih bila internet menghubungkannya.
Internet merupakan sebuah sistem komunikasi global yang menghubungkan komputer dan jaringannya di seluruh dunia. Jika kita amati, internet mengandung beberapa hal. Misalnya hal-hal yang positif seperti sebagai media pendidikan, dakwah, dan lain sebagainya. Selain itu ada juga hal-hal negatif, seperti dipergunakan untuk menonton film atau gambar-gambar pornografi.
Pada dasarnya menonton pornografi dapat membangkitkan syahwat. Dalam ushul fiqh hal ini masuk dalam konsep sadd al dzari’ah (menutup jalan yang bisa mengarah pada kerusakan). Sehingga secara umum menonton pornografi hukumnya haram. Keharaman ini karena perbuatan tersebut diduga kuat mengandung mafsadah. Orang yang menonton pornografi ini diduga kuat selalu bangkit syahwatnya yang seringkali mengakibatkan timbulnya perzinahan yang dilarang dalam Islam. (Ushul Fiqh Abu Zahroh, 291)
Dalam kondisi tertentu, perbuatan ini memang diperbolehkan jika ada keperluan syar’i, yakni keperluan yang dibenarkan secara syariat. Misalnya pihak berwenang (polisi dan hakim) diperbolehkan melihat pornografi saat melakukan pemeriksaan dan penyidikan. Juga, dibenarkan dalam fiqh, laki-laki melihat aurat perempuan ketika ada hajat. Seperti dalam hal pengobatan, persaksian zina, persaksian kelahiran, dan persaksian penyusuan. Bahkan dalam persaksian zina dan persaksian kelahiran diperbolehkan melihat kemaluan wanita yang bersangkutan. (Raudhah al Thalibin, II, 458)
Internet sendiri, penggunaannya semakin meluas, mulai dari anak di bawah umur sampai orang dewasa, bahkan orang tua. Tidak heran jika hal ini menjadi peluang usaha yang cukup menjanjikan. Semakin banyak orang yang membutukan internet, maka warnet (warung internet) pun semakin menjamur.
Pada dasarnya warnet  disediakan untuk membantu menjelajahi dunia maya, sedang apa yang ada di dunia maya tersebut ada yang baik dan ada yang buruk, ada maslahat dan ada pula maksiyat. Demikian pula si pengguna warnet, mereka tidak hanya orang-orang yang baik dengan niat baik, tapi ada pula orang-orang yang berniat tidak baik. Lantas bagaimana fiqh memotret fenomena ini?
Dimulai dari transaksi penggunaan warnet, dalam literatur fiqh, transaksi ini masuk dalam kategori akad ijârah (sewa). Pengertiannya, ijârah adalah memberikan kemanfaatan dengan menerima ganti/upah dan dengan syarat-syarat tertentu. (Fathul Mu’in, III, 129, Hâsyiyah al-Jamal, XIV, 308)
Adapun syarat-syarat tersebut, Pertama, barang/jasa yang disewakan harus diketahui oleh kedua belah pihak. Dalam konteks ini berupa layanan jasa internet bagi user (pengguna). Kedua, biaya/upahnya harus transparan. Tarif penggunaan internet harus transparan, yaitu biaya perjamnya sudah ditentukan dan dihitung berdasarkan durasi waktu yang ada. Dan yang terakhir, rentang waktu pemanfaatan barang yang disewakan harus jelas (diketahui oleh kedua belah pihak) karena waktu ditunjukkan oleh mesin penghitung maka keduanya sama-sama mengetahui tentang waktu pemakaianya (Tuhfatul Fuqahâ’, II, 347)
Selain itu, ijârah memiliki beberapa rukun yaitu shighat, ujrah, manfaat dan ‘aqid. Shighat adalah ijab qabul. Bentuk shighat secara umum memang harus melalui lisan tapi bisa juga menggunakan isyarat, tulisan atau kebiasaaan yang sudah dimaklumi oleh kedua belah pihak (Asna al-Mathallib, XII, 77). Rukun yang pertama kiranya sudah terpenuhi karena ketika operator warnet menyediakan warnetnya, berarti sudah menyatakan warnetnya ini disewakan. Kemudian dari pihak user, dirinya masuk ke dalam warnet dan menggunakan, disertai dengan mengetahui besar biaya pembayarannya, menunjukkan bahwa dia setuju dengan penyewaan itu.
Kedua, ujrah (upah/biaya sewa) disyaratkan harus diketahui oleh keduanya juga (Raudlatu at-Thalibin, II, 206). Ketiga, adanya manfaat (kegunaan benda yang disewakan). Adapun syarat dari pemanfaatan barang tersebut harus merupakan barang yang bernilai, tidak habis ‘ain-nya (bendanya) bila dipakai, dan manfaatnya harus sampai kepada penyewa. (Raudlatu at-Thalibin, II, 207-208). Keempat yaitu aqid, meliputi mu’jir (orang yang menyewakan) dan musta’jir (orang yang menyewa). Keduanya harus berakal dan baligh. Jadi kesimpulannya, mu’jir dan musta’jir tidaklah boleh orang yang tidak berakal seperti orang gila dan tidak pula orang yang belum baligh seperti anak kecil.(Raudlatu at-Thalibin, II, 206) 
Kemudian bagaimana hukum menyewakan warnet tersebut, padahal ada potensi digunakan untuk kemaksiatan? Begini, jika pemilik berkeyakinan atau mempunyai dugaan kuat akan digunakan untuk kemaksiatan, maka haram menyewakannya. Tapi jika operator warnet masih syak (ragu) akan digunakannya untuk proses kemaksiatan, maka makruh hukumnya, tapi kalau telah diketahui sudah banyak terjadi kemaksiatan maka hukumnya berubah menjadi haram secara mutlak dikarenakan saddan lidz dzarâi’ (mencegah sebelum terjadi). (Bughyatul Mustarsyidin, 126).
Selanjutnya, bagaiman hukum operator warnet mengawasi para user untuk memastikan adanya kemaksiatan di dalam bilik warnet? Mengenai ini, hukumnya di-tafshil (dirinci). Jika  operator warnet meyakini atau menduga kuat bahwa ada unsur kemaksiatan, maka wajib untuk mengawasi dan mengingatkan konsumen untuk tidak melakukan hal tersebut seperti melakukan perbuatan mesum atau menonton film berbau porno. Ini dalam rangka menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Namun, bila tidak diyakini atau diduga kuat, maka operator warnet tidak diperkenankan memantau para konsumen. Hal ini didasarkan pada belum jelasnya kemungkaran yang terjadi di dalam warnet. Dan bisa-bisa ini akan menimbulkan tajassus (membahas dan meneliti aib orang lain). (Sulam at-Taufiq, 79, Bughyatul Mustarsyidin, 250; I’anatu at-Thalibin, IV, 308; Ihya’ Ulum ad-Din, IV, 389; Al Bajuriy Ala Ibnil Qasim Al Ghaziy, II, 04).
Nah, kalau sudah diketahui terjadi kemaksiatan, lalu apakah si pemilik warnet ikut bertanggung jawab, padahal dia belum tentu tahu tentang adanya kemaksiatan tersebut? Memang, kemaksiatan di negeri ini cocok dengan kata pepatah “mati satu tumbuh seribu”. Satu tumbuh, dibasmi, tumbuh lagi, dibasmi, tumbuh lagi. Di saat seperti ini, gimana enggak membuat gerah si pemilik warnet? Secara moral, seharusnya  pemilik warnet ikut bertanggung jawab atas semua kelakuan user di warnet miliknya baik itu berupa kelakuan baik maupun tercela. Di sisi lain, kita sebagai konsumen, jangan hanya menyalahkan penyediaan warnet ini. Tetapi yang perlu kita lakukan adalah ikut menjaga kenyamanan dan keamanan di dalam warnet, bukan malah menambah angka kemaksiatan.
Pemilik warnet pun jangan hanya berpangku tangan atau malah acuh tak acuh terhadap maraknya kemaksiatan di warnet miliknya. Apalagi pemilik warnet malah menganggap hal itu sebagai wahana untuk mengeruk keuntungan yang berlipat ganda dengan memfasilitasi user untuk melakukan kemaksiatan, misalnya dengan memberikan bilik yang tertutup rapat sehingga memberikan kesempatan user tanpa malu-malu melakukan kemaksiatan. Jika kemaksiatan di warnet ini dibiarkan, pastinya akan semakin mengakar dan semakin marak.
Sebaiknya sikap yang harus diambil oleh si pemilik warnet adalah senantiasa mengawasi konsumennya. Pencegahan ini tidak harus dengan peniadaan bilik sama sekali, karena bilik juga penting untuk menjaga privasi konsumen itu. Paling tidak, bilik yang dipasang tidak tertutup rapat dan masih memungkinkan bagi penjaga warnet untuk mengontrol dari luar. Penjagaan juga bisa dengan pemasangan CCTV (Closed Circuit Television) di dalam ruangan warnet. Cara ini dianggap ampuh, karena si pemilik bisa mengawasi seluruh isi warnet tanpa harus mengganggu privasi konsumen. Atau bisa juga dengan pemberian software anti-pornografi pada setiap website-website yang dibuka konsumen. Dengan begini kenakalan konsumen yang sering membuka situs-situs porno bisa diminimalisasi. Bukankah lebih baik mendapatkan untung dari sesuatu yang halal dari pada untung banyak tapi dari hasil yang haram? [eLFa]
Layout by AanZt | Design by NewWpThemes | Blogger Theme by Lasantha - Premium Blogger Templates | NewBloggerThemes.com