Buletin El-Fajr Edisi V (Ma’had Qudsiyyah)
Mendengar, Memahami dan Memberi Solusi
-----------------------------

Pada beberapa hari terakhir ini, kita mungkin terus mengelus dada setiap kali membaca , mendengarkan atau menonton berita yang ditayangkan di berbagai media. Bagaimana tidak? setiap hari atau mungkin setiap kali acara berita, selalu muncul berita tentang kasus suap.
Ya, kata-kata suap sekarang memang seakan tidak lagi tabu untuk diperbincangkan dan didengarkan. Penyebabnya?, tentu saja karena mungkin kasus ini sudah terlalu sering terjadi di negeri ini, bahkan mungkin sudah merebak dimana-mana, dalam berbagai jabatan, dan tingkatan.
            Nama-nama seperti SBY, Mahfud MD ataupun Nazaruddin memang sering muncul dalam pemberitaan akhir-akhir ini, bahkan seringkali menjadi hot news dan headline di berbagai media. Selain itu kasus inipun menyita perhatian khalayak ramai di seantero negeri. Dan inti pemberitaannya hanya satu, dan itu lagi-lagi  dugaan suap.
            Pada kasus terakhir ini, peran aktor utama tertuju pada M. Nazaruddin, seorang anggota Komisi X DPR RI, yang diduga  melakukan korupsi dana pembangunan asrama atlet SEA Games XXVI di Palembang. Selain itu untuk mengamankan kasus korupsinya ia kembali diduga melakukan aksi suap terhadap sekretaris menpora, Wafid ... dan sekjen MK, Janedri M. Gaffar.(Jawa Pos, Senin, 23 Mei 2011)
       Pada edisi kali ini, kita hanya akan menyorot kasus ‘dugaan suap’ tersebut beserta pandangan islam terhadap masalah ini.
Mari kita bahas dengan seksama!!!
Bila kita amati sekilas, kasus Nazaruddin ini bisa digolongkan sebagai salah satu dari : suap, hibah, hadiah dan shodaqoh.
Suap sendiri berarti uang sogok, sedangkan gratifikasi berarti uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan. Di lain sisi, fiqh klasik mengartikan shodaqoh sebagai pemberian yang bertujuan mendapat pahala. Sementara pemberian yang dimaksudkan penghargaan dan penghormatan atas prestasi seseorang disebut hadiah (baik bertujuan  mendapat pahala atau tidak). Dan hibah berarti pemberian seseorang yang bersifat umum. Shodaqoh dan hadiah juga bisa digolongkan sebagai hibah (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Hasyiyah al-Jamal, V, 60, Raudlatu at-Talibin, II, 270)
Imam Ghazali berpendapat dalam kitab Ihya’nya bahwa jika harta tersebut diniatkan karena tujuan akhirat maka disebut shodaqoh. Jika diniatkan dengan tujuan dunia maka ada kalanya berupa harta disebut hibah, dengan catatan, bahwa dia melakukan tersebut karena ingin mendapatkan sesuatu atau ‘udang di balik batu’. Dan ada kalanya berupa amal perbuatan. Jika amal tersebut perbuatan haram atau kewajiban tertentu maka disebut risywah (suap). Dan jika perbuatan jaiz (mubah) maka ijaroh (sewa) atau ju’alah (sayembara) dan adakalanya untuk taqorrub (lebih dekat) kepada yang diberi. Apabila atas dirinya sendiri maka hadiah. Apabila karena kehormatannya ada dua jika penghormatan karena ilmu atau nasab maka juga disebut hadiah. Apabila karena keputusan atau perbuatan (timbal balik) maka disebut risywah. (Raudlatu at-Thalibiin Wa ‘Umdah al-Muftiin, IV, 132).
Suatu pemberian tersebut (hibah) juga mempunyai syarat dan rukun yaitu shighot, aqid dan barang yang diberikan  dengan ketentuan-ketentuan seperti akad jual beli.
Dalam literatur klasik tidak ditemukan tentang konsep gratifikasi, yang ada hanyalah  hibah, hadiah, shodaqoh dan suap (yang diasumsikan sebagai risywah). Namun, gratifikasi sendiri pada hakikatnya juga merupakan hibah.
Sedangkan pengertian risywah adalah menyerahkan sejumlah harta kepada seseorang (hakim/selain hakim), agar memberi sebuah keputusan secara tidak benar sesuai dengan kehendak si pemberi demi kepentingan individu, kelompok, maupun golongan lain. Adapun hukum memberikan uang risywah tersebut adalah tidak boleh (haram). (Asna al-Mathallib, XXII, 203, Fatawa as-Subkiy, I, 604-605).
Bahkan dalam hadits disebutkan:
لعن الله الراشي والمرتشي في الحكم . رواه ابن حبان وغيره وصححه
Artinya: Allah melaknati orang yang meyuap dan yang disuap yang banyak terjadi pada masalah hukum. (Asna al-Mathallib, XXII, 203)

Walaupun ada pula suap yang diperbolehkan yaitu jika suap tersebut dimaksudkan untuk hal yang baik. Seperti memberi suap agar menghukumi dengan adil. Maka hokum memberi suapnya boleh, tetapi hokum menerima suap tersebut haram. (Hasyiyah al-Jamal, XXIII, 140)
Kasus yang menarik ini juga mendapat berbagai tanggapan dari berbagai pihak. Ketua MK, Mahfud MD ketika ditanya oleh seorang wartawan tentang pendapatnya terhadap kasus ini dan mengapa ia tidak melaporkan kasus dugaan suap yang melibatkan anak buahnya ini ke KPK, ia menjawab bahwa hal ini hanya sebuah gratifikasi dan sekedar pelanggaran etika. Ia juga berpendapat bahwa kasus ini bukan merupakan suap karena memang belum ada bukti kuat yang mengarah kesitu (suap). Ia berpendapat seperti itu karena memang hingga saat ini kasus korupsi yang dilakukan oleh Nazaruddin belum terbukti, sehingga ia hanya melaporkannya pada SBY, selaku pembina Partai Demokrat-partai yang meloloskan Nazaruddin sebagai anggota DPR. Namun tak bisa diingkari bahwa memang ada indikasi suap pada kasus ini.
Selain itu, ia juga beralasan bahwa bila kasus ini dibawa ke KPK, tidak ada tindak lanjutnya dan hanya muncul perdebatan apakah uang gratifikasi itu boleh diambil atau tidak, dan kasus ini akan menguap dengan sendirinya oleh persoalan-persoalan yang akan muncul di kemudian hari. (www.republika.co.id)
Namun hal ini ditentang oleh Ruhut Sitompul, rekan separtai Nazaruddin. Ia menyatakan bahwa ia menyesalkan tindakan Mahfud MD yang melaporkan kasus ini kepada SBY bukan pada KPK. Menurutnya kasus ini sudah merambah pada ranah hukum dan bukan hanya sebagai pelanggaran etika.
Dalam kasus ini memang agak sulit dibedakan apakah  termasuk gratifikasi ataukah suap. Dalam keputusan Munas ‘alim ‘ ulama’ NU tahun 2002 sudah dijelaskan  bila terjadi kasus seperti ini. Pada rumusannya disebutkan bahwa boleh memberikan uang kepada orang yang sudah biasa diberi tapi dalam jumlah kecil dan tidak lebih besar (melebihi) apa yang diperbuatnya. Dalam hal hibah atau hadiah yang diberikan oleh orang yang sebelumnya sudah biasa memberi dan jumlahnya pun tidak lebih besar dari biasanya, maka hukumnya mubah (boleh), karena hal tersebut masuk dalam konteks hibah (Keputusan Munas 2002)
Pada akhirnya, ‘menurut pandangan Islam’ kasus itu memang kembali pada Nazaruddin secara pribadi, apakah uang itu dimaksudkan sebagai hibah ataukah suap.  Jika Nazaruddin bermaksud untuk mempunyai keinginan tertentu, baik kepentingan pribadi (individu), kelompok, maupun orang lain maka bisa juga berubah menjadi risywah (sogok/suap). Namun pada kasus ini memang ada indikasi ke arah suap.
Setelah mengetahui hukum suap tadi, maka mari bersama-sama kita berantas segala bentuk suap dan korupsi yang merupakan perampasan hak-hak rakyat. Penyakit ini seakan sudah menjadi suatu akar berbagai persoalan bangsa. Maka sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk mencegah perbuatan ini semakin berkembang dengan cara menghindarkan diri dan generasi muda dari perbuatan-perbuatan ini.




      



Layout by AanZt | Design by NewWpThemes | Blogger Theme by Lasantha - Premium Blogger Templates | NewBloggerThemes.com