Dimuat di bulletin El-Wijhah Edisi XXII
Oleh : Ulil Albab
Kategori : Analisa

 Budaya merupakan suatu aspek kebiasaan yang sulit dihilangkan dari benak suatu peradaban masyarakat yang sudah melekat dalam jiwa, seperti halnya peradaban jawa yang sudah kental akan nuansa budaya tradisi dan dinasti kerajaan-kerajaan hindu-budha yang kuat.
Setelah fase kedatangan para saudagar arab maupun thionkok yang membanjiri pelabuhan di pantai utara jawa dalam prihal perdagangan dan menyebarkan agama islam yang disertakan para Ulama’ islam, lambat laun islam pun menyebar, mengikis idiologi kepercayaan masyarakat sebelumnya dan mulai menggerogoti kekuasaan kekaisaran hindu-budha yang mulai goyah.
Persepsi masyarakat yang mulai menganggap islam merupakan agama yang lurus, itu merupakan suatu keberhasilan Ulama’ dalam aspek berda’wah yang luwes dan berhasil menarik simpati masyarakat sampai ke pelosok daerah, Ulama’-ulama’ ini biasa disebut walisongo.
Inisiatif para Walisongo berda’wah dengan melihat kentalnya tradisi hindu-budha di masyarakat, sehingga beliau dituntut melakukan da’wah dengan bijak, menurut rector UIN Jakarta,” dengan para bijaknya penyebar islam menghargai akan tradisi luhur yang dijumpai sambil memperkenalkan ajaran Al-Qur’an, sehingga antara aspek agama dan budaya saling menopang dan saling mengisi, agama tidak bisa berkembang tanpa wadah budaya, dan budaya akan hilang arah dan ruh tanpa bimbingan agama.”
Seperti halnya tradisi sekaten yang sudah tidak asing lagi di telinga kita, tradisi yang awal mulanya dikisahkan Sunan Kalijaga yang mempunyai keahlian menjadi seorang dalang, serta kesukaan masyarakat jawa akan adanya pertunjukkan wayang maupun tetabuhan.
Potensi yang itu dimanfaatkan Sunan Kalijaga untuk menggelar pertunjukkan wayang dan membuat gong yang besar dalam hal menarik perhatian, setelah masyarakat berkumpul, gong tidak ditabuh sebelum masyarakat mengucapkan Syahadatain, begitulah latar belakang dinamakan gong sekaten.
Sekaten merupakan suatu asas tradisi yang diwariskan walisongo untuk mensyi’arkan islam, pasalnya tradisi yang terus dilestarikan masyarakat Jogja maupun Solo itu mengandung filosofis tinggi, pasalnya da’wah para wali yang tidak dilakukan secara radikal tapi harus ada pendekatan, serta melihat kondisi masyarakat sekitar.
Seperti halnya lagi tradisi mitoni, pada awalnya ada yang beranggapan tradisi yang diwariskan walisongo tersebut merupakan Bid’ah. Tapi, bila ditelisik lebih mendetail lagi yang bertendensi pada sebuah hadits Nabi :
اِنَّ اَحَدَكُمْ ُيجْمَعُ خَلْقَهُ فِى بَطْنِ اُمِّهِ اَرْبَعِينَْ يَوْمًا..الحديث
ثُمَّ يُرْسَلُ اِلَيْهِ المُلْكُ فَيُنْفَخُ فِيْهِ الرُّوْحِ

Setelah mencermati hadits diatas mengisyaratkan bahwasanya, seorang ibu yang sedang mangandung 4 maupun 7 bulan merupakan suatu masa fundamental bagi kelangsungan hidup di masa depan si jabang bayi. Secara teoritis, apakah tidak diperbolehkan berdo’a buat si jabang bayi dalam ritual tahlil mitoni, agar kelak bisa menjadi anak yang berguna bagi agama maupun Negara.
Kesimpulan dari semua teks diatas yaitu, berbagai corak metode da’wah yang digunakan Walisongo merupakan keluwesan da’wah yang ditujukan untuk menarik masyarakat agar mau masuk islam.
Metode da’wah Walisongo kita integrasikan di era sekarang perjuangan da’wah terhadap non muslim memanglah berat. Pasalnyan, zaman yang menyajikan ilmu pengetahuan, berkembang dengan pesat dan menghasilkan output manusia yang berintelektualitas tinggi. Sehingga, kita sebagai generasi penerus Walisongo dituntut lebih tangguh dari pemikiran filosofis non muslim dan siap menjawab akan pemikiran filosofis yang melenceng dari koridor luhur islam, sehingga kita bisa menggiring pemikirannya agar mau masuk islam yang lurus.


                                                                                   
Layout by AanZt | Design by NewWpThemes | Blogger Theme by Lasantha - Premium Blogger Templates | NewBloggerThemes.com