Dimuat di buletin ElWijhah Edisi XXII
Oleh : M. Ali Musta’an (xi b)
Kategori : Analisa
Seperti yang kita ketahui penyebar agama islam di tanah jawa adalah para ulama’ yang disebut Walisongo. Walisongo merupakan kumpulan wali yang berjumlah Sembilan, beliau menyebarkan islam di jawa dengan cara damai, luwes, dan tidak melakukan kekerasan. Semua itu dilakukan agar bisa menarik simpati dari masyarakat.
Strategi-strategi yang digunakan walisongo adalah :
1. Membiarkan dulu adat istiadat dan kepercayaan yang sukar diubah, dan mereka (Walisongo) sepakat untuk tida menggunakan jalan kekerasan atau radikal untuk menghadapi masyarakat yang demikian.
2. Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran islam tapi mudah diubah maka segera dihilangkan.
3. Tut wuri handayani artinya mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat rakyat tetapi diusahakan untuk dapat mempengaruhi sedikit demi sedikit dan menerapkan prinsip tut wuri hangeseni, yang artinya mengikuti dari belakang samil mengisi ajaran islam.
4. Menghilangkan konfrontasi secara langsung atau terjadinya kekerasan dalam menyebarkan agama islam.
5. Tujuan utama mereka adalah merebut simpati rakyat, sehinga rakyat mau untuk diajak berkumpul, mendekat dan bersedia mendengarkan pembicaraan dari para Wali tersebut. Jadi, tidak diperbolehkan menghalau rakyat dari kalangan umat islam, melainkan berusaha menyenangkan hati mereka supaya mau mendekat kepada para Ulama’ atau para Wali.
Strategi ini diterapkan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Muria dan Sunan Gunung Jati, yang diseut kaum abangan. Berbeda dengan kaum putihan, yang menjaa kemurnian islam dari sesuatu yang berbau syirik. Dan kaum abangan yang ingin mengajak masyarakat secepatnya untuk masuk islam, bila sudah masuk islamtinggal menyempurnakan iman mereka. Namun, atas inisiatif Sunan Kalijaga, kedua pendapat yang bereda tersebut isa dikompromikan.
Diantara Sembilan wali tersebut yang dijuluki budayawan (ahli budaya) adalah Sunan Kalijaga. Beliau menciptakan budaya untuk dijadikan sarana da’wah agar bisa lebih dekat dengan rakyat. Diantara ciptaan beliau adalah seni pakaian, seni suara, seni ukir, seni gamelan, bedug atau jidor di masjid, sebagai dalang dan ahli dalam tata kota. Tembang Lir-ilir adalah salah satu seni suara yang diciptakan beliau yang mengandung unsur da’wah dan ajakan untuk masuk islam.
Untuk memenuhi janji, Allah SWT dalam Al-Qur’an Karim yang berbunyi :
فضل الله المجاهدين على القاعدين اجرا عظيما
Artinya :”Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.”
Untuk mencari simpati rakyat para Wali lainnya juga melakukan hal-hal yang bisa meluluhkan mereka tanpa adanya kekerasan. Semisal, Sunan Kudus dating di Kudus masyarakatnya rata-rata beragama hindu-budha. Untuk mengajak masuk islam bukanlah suatu pekerjaan yang mudah harus kreatif dan tidak bersifat memaksa. Masyarakat hindu-budha adalah masyarakat yang mengkeramatkan sapi dan menganggap hewan suci kendaraan para dewa. Oleh karena itu, Sunan Kudus tidak menyembelih sapid an melarang kaum muslim Kudus. Karena itu isa melukai hati rakyatnya (Hindu-Budha). Bahkan tradisi ini masih berlaku sampai sekarang. Karena toleransinya yang tinggi Sunan Kudus juga memangun menara masjid mirip candi hindu.
Suatu hari Sunan Kudus mengundang masyarakat untuk mendatangi hajatnya. Sebelum masuk masjid masyaratkan disyaratkan membasuh kedua kaki dan tangan yang telah disediakan, yang lama-lama menjadi kebiasaan untuk berwudlu.
Dengan cara da’wah seperti inilah rakyat akhirnya terpanggil jiwanya untuk masuk islam dan berusaha mendidik keturunan-keturunannya dengan ajaran islam. Berbeda dengan Asia Barat, Afrika dan Eropa (Andalusia), yang penyebaran islam disana dilakukan penaklukan atau kekerasan. Akhirnya, islam disana rubuh, karena masih adanya suatu kelompok yang masih belum bisa menerima dan masih mentimpan dendam terhadap kedatangan islam akibat kekerasan yang dulunya telah terjadi.