Oleh : Hilmi Abdillah
Perda syariah bukanlah persoalan yang baru keluar belakangan ini, tetapi sudah berlangsung beberapa tahun sebelum ini. Kewenangan Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mengambil kebijakan hukum membuat Pemda sangat produktif dalam mengambil kebijakan publik, di antaranya adalah Perda Syariah.
Pada suatu sisi, ada kelompok Islam menginginkan agar aturan hukum di Indonesia dibuat dengan nuansa Islami, setidaknya bagi umat Islam. Karena problem yang timbul di masyarakat selama ini cenderung disebabkan melemahnya komitmen keagamaan masyarakat dan tidak tegaknya syariat. Di sisi lain, kelompok sekuler dan non-muslim tidak ingin adanya intervensi (campur tangan) agama ke dalam aturan hukum Indonesia. Lahirlah pro-kontra antara dua kutub tersebut.
Akar kotroversi di atas bersumber dari beberapa persoalan berikut ini. Yaitu pandangan terhadap Islam, problem sumber hukum, studi hukum Islam, kontroversi kelompok agamis dan nasionalis,serta kontroversi antar agama. Untuk memperjelas kelima akar kontroversial tersebut, berikut kami uraikan di baawah ini.
Pandangan Terhadap Islam
Perbedaan pandangan dalam melihat Islam,berimplikasi (berhubungan) atas penerimaan adanya Perda Syariah. Ada yang memandang Islam sebagai sistem kehidupan
dan ada pula yang memandang Islam sebagai agama semata.
Bagi yang memandang Islam sebagai sistem kehidupan, menyatakan bahwa hidup di dunia ini diatur oleh satu Maha Pengatur (syari’) yang dapat dipahami dari Alquran dan Hadits. Karena ajaran                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Alquran dan Hadits bersifat universal dan dapat terintegrasi (tergabung) dalam setiap kehidupan, duniawi ataupun ukhrawi.
Dalam Alquran banyak sekali ayat berkenaan dengan tata cara dalam menjalani kehidupan dunia. Cara mengasuh bayi, perkembangan fase manusia, kejadian saat di dalam rahim, adalah sebagian contohnya. Begitu pula aturan kenegaraan, -menurut pendapat ini- juga harus dijajaki dengan hukum Islam yangt bersumber dari dua referensi tersebut.
Dalam pandangan ini, Perda Syariah adalah upaya untuk merealisasikan Islamisasi melalui politik kenegaraan. Dan pandangan ini berusaha menanamkan nuansa Islam dalam aturan hukum. Sehingga kehidupan dapat berputar sesuai harapan.
Bagi yang memandang Islam sebagai agama semata, Islam hanya mengatur tentang proses ritual dan spiritual. Sama seperti agama-agama lain, baik agama samawi (seperti Yahudi dan Nashrani) ataupun agama kebudayaan, yang dapat dilihat dari wilayah kepercayaan (trush), peribadatan (ritual), kerohanian (spiritual), upacara-upacara keagamaan (seremonial).
Islam tidak akan dipakai sebagai dasar pembuatan hukum negara. Walaupun Islam mengajarkan perdamaian, tanpa  selundupan hukum Islam pun negara mampu berdiri dengan damai.
Dalam pandangan ini, Islam tidak ikut campur tangan dalam kenegaraan dan pemerintahan. Islam mengurusi urusan ukhrawi, sedangkan negara adalah urusan duniawi.
Problem Sumber Hukum
Dalam literatur ilmu hukum yang menjadi sumber hukum adalah undang-undang, adat, traktat (perjanjian antar bangsa), yurisprudensi (putusan hakim), pendapat ahli, dan doktrin. Oleh karena itu, menurut teori ini, pendapat (ijtihad) ulama dan fuqaha mengenai hukum tidak dapat dijadikan landasan. Walaupun ada sumber hukum berupa pandapat ahli, namun yang dimaksud adalah ahli hukum sekuler (keduniaan).
Jika menghadapi hukum dalam konteks kehidupan di masyarakat, hukum agama sering terabaikan. Dan ketika hendak memproduksi hukum, literatur-literatur agama hampir tidak pernah menjadi dasar. Kalaupun literatur agama diikutandilkan ketika hendak mengajukan,akan terkesan adanya intervensi agama ke dalam negara. Karena itulah sebab tidak diterimanya Perda Syariah bagi sebagian kalangan. Perda Syariah bersumber dari ulama, sedangkan negara tidak mengakui ulama sebagai sumber hukum.
Sebenarnya untuk mengentaskan konflik antara agama dan hukum ini telah dilakukan oleh beberapa ahli hukum Indonesia yang berwawasan keagamaan. Namun, belum banyak pengaruh mereka terhadap konsep hukum yang pasti di Indonesia.
Studi Hukum Islam
Bias dikatakan hukum-hukum Islam yang dipelajari diberbagai dimensi hanya bersifat teoritis. Kecuali di beberapa aspek saja, seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Pada bab mawarits, ekonomi (muamalah), politik (siyasah), pidana (jinayah), dan lain sebagainya, jarang ditemui dalam realita kehidupan. Sehingga bab-bab tersebut seolah-olah hanya berguna untuk mengisi pelajaran para peserta didik dan menambah materi tes.
Padahal dalam aturan kenegaraan sudah ada undang-undang yang berkaitan dengan hukum Islam, seperti UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Pengelolaan Zakat, dan UU Wakaf. Namun undang-undang ini masih bersifat terbatas dan hanya dalam lingkup tertentu. Belum bisa menyeluruh seperti yang dirinci dalam kitab-kitab fikih.
Karena itu, undang-undang yang berkaitan dengan hukum agama ini akan memperkuat pro Perda Syariah. UUD sebagai tata urutan peraturan tertinggi saja ada yang berkaitan dengan hukum Islam, boleh saja perda, sebagai tata urutan peraturan terdasar juga ada yang berkaitan dengan hukum Islam.
Dan efek yang disebabkan karena hukum Islam yang bersifat teoritis ini adalah seakan-akan hukum tersebut tidak bisa dijadikan undang-undang karena hanya berhenti pada tatanan fikih, tidak direfleksikan dalam kehidupan bernegara.
Kontroversi Kelompok Agamis dan Nasionalis
Kontroversi antara kedua kelompok ini sudah berlangsung lama, sudah terjadi ketika hendak menyusun dasar negara. Kelompok agamis terdiri dari mereka yang berlatar belakang santri. Dan kelompok nasionalis terdiri dari mereka yang berlatar belakang pendidikan umum. Walaupun sekat antara kedua kelompok tersebut sekarang sudah mulai hilang, namun tetap saja perbedaan pendapat mereka masih mencolok.
Bersangkutan dengan Perda Syariah, kelompok agamis akan memperkokoh terealisasikannya Perda Syariah dalam kehidupan bernegara. Sebagai wujud  kesalehan dan ketaatan. Sedangkan pendapat lain diperkokoh oleh kelompok nasionalis. Mereka tidak ingin ada relevansi (hubungan) agama dengan aturan kenegaraan. Walaupun prakteknya terjadi.
Jauh pada saat perumusan teks Pancasila, para pendiri Negara sudah mempersoalkan hal ini. Asal mula sila pertama berbunyi, ”Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menuai kontroversi yang kemudian diganti dengan teks, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Karena Indonesia tidak hanya dihuni oleh umat dengan agama yang sama, tetapi dengan macam-macam agama.
Madinah, Negara yanmg dipimpin Rasulullah, tidak hanya ditinggali oleh umat muslim. Nabi tidak pernah menyusupkan aturan agama Islam ke dalam aturan kenegaraan. Umat muslim diatur oleh  syariatnya sendiri, umat non-muslim, juga menjalankan syariatnya sendiri. Nabi hanya menegakkan perdamaian dan kerukunan antar umat bernegara (ukhuwah wathaniyyah). Nabi juga menegakkan prinsip kesederajatan dan keadilan (al musawwah wal ‘adalah). Walaupun penduduknya heterogen, masing-masing mempunyaui kebebasan untuk memeluk agama dan melakukan aktivitasnya.
Begitu kental kontroversi antara kelompok agamis dan nasionalis. Belum lagi dengan munculnya kelompok sekuleris ataupun komunis yang jelas tidak akan setuju dengan adanya Perda bernuansa syariat Islam.
Kontroversi Antar Agama
Walaupun jelas bahwa umat Islam adalah umat mayoritas di Indonesia, bahkan berpresiden muslim, namun untuk memproduk suatu hukum yang bersinggungan dengan agama, umat non-muslim juga memiliki pengaruh. Non-muslim juga tak kalah suara atau pendapat untuk menentukan suatu hukum.
Kontroversi bahkan konflik antar agama juga sudah berlangsung lama. Sampai pernah terjadi tragedi pertumpahan darah di beberapa daerah atau negara. Mundur lagi ke masa Rasulullah, Islam saja dilarang lahir sebagai agama baru, karena dianggap menyingkirkan Tuhan nenek moyang. 
Dari perbedaan ini, muncul juga perbedaan tanggapan berkenaan dengan Perda Syariah, yang bau-baunya bernafas Syariah Islam. Dukungan alot akan muncul dari golongan Islam dengan rujukan kitab-kitab fikih. Sedangkan golongan non-muslim tak akan setuju dengan dominasi Islam di Indonesia.
Bagi masyarakat, Perda Syariah Islam juga akan menimbulkan kesalehan masyarakat hanya bersifat formalitas atau simbolis. Akhirnya seseorang akan merasa dikurung dengan hadirnya Perda Syariah. Padahal manusia seharusnya melaksanakan Islam dengan sepenuh hati. tanpa paksaan. Dalam alquran sudah diterangkan, “Tidak ada paksaan dalam agama”. Tetapi mengapa kemudian muncul sebuah peraturan yang memaksa masyarakat melakukan agama.
Kontroversi ini nampaknya akan terus berlanjut bila tidak dilakukan kompromi-kompromi politik atau kembali ke prinsip demokrasi yang mengedepankan nilai-nilai universal. Dengan dukungan rakyat dan musyawarah secara damai tanpa kecurigaan. Di samping itu dapat juga dilakukan eliminasi atas akar persoalan yang menjadi penyebab kontroversi di atas.
Sebenarnya dan seharusnya, masyarakat Indonesia telah menerima UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar Negara. Maka untuk menyelasaikan kontroversi ini, masyarakat harus kembali ke UUD 1945 dan Pancasila. Di dalammnya, sudah memuat prinsip ketuhanan, kemanusiaan, nasionalisme, solidaritas, dan keadilan dalam bernegara.
Dan semoga kontroversi masalah Perda Syariah ini tidak meneteskan darah, memecahkan kaca, atau menyulut api. Semoga hanya masuk dalam sabda nabi, “Kontroversi di antara umatku adalah rahmat”.
sumber:
Layout by AanZt | Design by NewWpThemes | Blogger Theme by Lasantha - Premium Blogger Templates | NewBloggerThemes.com